Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finansial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.
Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.
Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.
Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.
Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.
Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.
Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.
Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.
Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.
Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.
Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.
Emoticon